Tuesday, March 22, 2011

MEMBERI KEMUDAHAN


Abu Musa dan MU’adz bin Jabal r.a, sebelum mereka dikirim ke Yaman, berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Berilah mereka kabar gembira, mudahkanlah urusannya, ajarkan mereka ilmu dan janganlah menakut-nakuti mereka, (dan aku melihat Rasulullah berkata pula) bantulah mereka.”

Cikarageman, 22 Maret 2011
Beberapa kali aku dihadapkan dengan beberapa hal yang cukup menguras pikiran disebabkan adanya dua atau lebih sudut pandang yang harus diperhatikan. Beberapa di antaranya adalah tentang ‘penyitaan handphone’ di madrasah ini. Namun, sebelum aku menceritakan hal-hal yang mengandung pergesekan-pergesekan tersebut, kukira aku harus meruntut kejadian-kejadian yang melatar-belakangi pengambilan keputusan yang aku ambil dalam memecahkan gesekan tersebut, sebagai Penanggung Jawab Bagian Kesiswaan. Keadilan, pelajaran, dan kemudahan merupakan dasar bagiku dalam pengambilan keputusan.

Pertama, ‘penyitaan handphone (HP)’ adalah tata tertib produk dari rapat kerja tahunan, yaitu sebuah wadah untuk mendiskusikan segala hal tentang program madrasah selama satu tahun ke depan. Termasuk di dalamnya adalah revisi tata tertib jika tata tertib tersebut dianggap sudah kurang relevan. Khusus ‘penyitaan HP’, telah disepakati bahwa HP akan disita dan tidak boleh diambil, tapi kenyataannya adalah boleh diambil oleh orang tua setelah siswa yang bersangkutan lulus madrasah. Hal ini merupakan satu kekurangan dari tata tertib madrasah yang menyebabkan ambiguitas dalam pelaksanaannya. Selain itu, penyitaan dengan batasan waktu kelulusan tersebut akan menyebabkan terjadinya perbedaan jangka waktu penyitaan antara satu pelanggar dengan pelanggar yang lain. Bagi siswa yang HP-nya disita di kelas satu, ia harus menunggu dua tahun lagi untuk bisa mengambil HP-nya. Dan bagi siswa yang HP-nya disita di kelas tiga semester ganjil, ia harus menunggu hanya satu semester untuk bisa mengambil HP-nya dari Bagian Kesiswaan. Jika dilihat dari sudut pandang ini, maka sanksi penyitaan tersebut kurang adil. Dan yang disayangkan, peserta rapat kerja yang seharusnya dituntut untuk mencurahkan segala pemikirannya untuk kepentingan madrasah selama satu tahun ke depan malah minim catatan atau gagasan dalam buku agenda mereka. Ditambah lagi ketersediaan waktu rapat kerja yang terlalu pendek dan pelaksanaan yang terkesan tergesa-gesa. Tentu saja, keadaan seperti itu tidak bisa dijadikan acuan dalam menghasilkan keputusan yang tepat dengan dasar pemikiran yang mendalam.

Kedua, beberapa penyitaan HP telah dilakukan. Namun, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kekurangan yang perlu dipertimbangkan kembali. Salah satunya, penyitaan HP hanya berdasarkan ‘penglihatan’ guru tertentu secara kebetulan. Tentu hal ini akan dirasakan tidak adil bagi siswa yang tertangkap basah membawa HP karena ia sendiri tahu bahwa masih banyak temannya yang membawa HP namun tidak di’urus’ hanya dengan alasan mereka tidak tertangkap basah oleh guru. Untuk hal ini, guru tidak seharusnya mengatakan, “Saya memergoki kamu, bukan yang lain.” Padahal, jika siswa itu berpikiran merdeka, ia bisa saja menjawab, “Baik, Pak/Bu, sekarang saya tunjukkan siapa saja yang membawa HP hari ini supaya Bapak/Ibu bisa menangkap basah mereka.” Namun siswa cenderung takut menjawab jika ia melihat guru yang bersangkutan telah menunjukkan kemarahan. Atau, jika gurunya mau bijak, seharusnya ia akan mengatakan, “Baik, saya telah menyita HP kamu. Sekarang, supaya adil, tunjukkan saya siapa saja yang membawa HP sekarang. Jika kamu bersedia, maka keadilan akan kamu rasakan. Tapi jika kamu tidak bersedia menunjukkan, maka ketidakadilan itu sebagai hukuman sebagai konsekuensi yang disebabkan oleh ulahmu sendiri.” Terlepas siswa yang bersangkutan bersedia menunjukkan atau tidak, guru yang memergoki sebaiknya melapor ke Bagian Kesiswaan untuk dilakukan razia lebih luas saat itu juga. Tindakan ‘asal sita’ tanpa perhitungan ini juga menciptakan ‘kekurangan’ sistem yang bisa meringankan sanksi si pelanggar.

Ketiga, ketika sudah dilakukan penyitaan, terjadi penuntutan dari pihak wali murid untuk meminta kembali HP yang tersita. Hal ini terjadi dengan berbagai alasan. Alasan pertama, mereka meminta penundaan atas penyitaan karena mereka membutuhkan peringatan terlebih dahulu sebelum dilakukan penyitaan. Untuk alasan ini, aku tidak bisa menerima karena di tata tertib sudah tercantum jelas bahwa penyitaan dilakukan tanpa melewati proses peringatan. Hal ini disebabkan tata tertib sudah disosialisasikan ke orang tua / wali murid di awal tahun pelajaran. Di sinilah aku mendasarkan keputusan atas ‘keadilan’. Kedua, mereka beralasan bahwa itu HP orang lain. Untuk alasan ini, aku mempunyai dua jawaban: 1) “itu masalah kalian dan saya tidak ikut campur,” 2) “panggil yang mempunyai HP supaya dia bisa meminta pertanggung-jawaban kalian di depanku.” Dalam kasus yang kedua ini, biasanya aku akan memaksa siswa yang bersangkutan untuk bertanggung jawab kepada pemilik HP, terlepas itu pemilik yang sesungguhnya atau bukan. Aku tahu bahwa terkadang siswa itu berdusta untuk menyelamatkan diri dan menjadi pengecut. Hal ini yang tidak aku inginkan. Aku berharap siswa tersebut menjadi pribadi yang siap menanggung resiko dan bertanggung jawab. Apapun solusinya, selama siswa itu menunjukkan tanggung jawab, aku rela demi pendidikan. Di sinilah aku mengambil keputusan atas dasar ‘pelajaran’ sekaligus ‘kemudahan’.

Bahkan ketika siswa yang bersangkutan membawa orang-orang yang ‘tak dikenal’ yang cara bicaranya ‘tinggi’ dan tingkah lakunya kurang sopan, aku tetap memikirkan bagaimana agar siswa yang bersangkutan bisa bertanggung jawab. Aku tak peduli dengan retorika yang aneh-aneh dari orang-orang tak dikenal tersebut. Namun, terkadang jalan pikir mereka ‘tidak sampai’ pada hakikat tindakan sanksi yang telah diberlakukan atas diri mereka, sehingga dengan kekeras-kepalaannya mereka tetap menuntut HP-nya kembali apapun alasannya. Sehingga mereka sampai pada tahap mencampur-adukkan urusan sekolah dengan urusan pribadi pemilik lembaga. Tentu saja, dalam hal ini aku harus berhadapan dengan kepatuhan terhadap atasan, sehingga aku harus menggunakan ‘kemudahan’ sebagai dasar keputusan yang aku ambil. ‘Kemudahan’ itulah yang akhirnya jalan terbaik ketika sudah tidak ada cara lain untuk menanggulangi sifat keras kepala, pengecut, atau lemah semangat.

Sekarang bisa disimpulkan bahwa aku memberi keputusan yang berbeda atas pribadi yang berbeda walaupun kasusnya sama. Untuk pribadi yang tabah, sabar, tahu diri dan bertanggung jawab, aku menghargai mereka dengan menjatuhkan sanksi yang semestinya, yaitu tetap menyita HP sesuai dengan aturan walaupun aku tahu bahwa berdasarkan jangka waktu kelulusan, penyitaan tersebut akan memiliki jangka waktu yang berbeda dan hal ini akan terasa kurang adil bagi mereka. Namun dampak positifnya bagi mereka ke depan adalah bahwa mereka menjadi tahu rasanya dapat hukuman, penderitaan atas kecerobohan, terlatihnya kesabaran, serta keyakinan atas takdir bahwa pada saatnya HP itu akan kembali kepada mereka. Secara mental, mereka akan sangat tercerahkan.

Bagi pribadi yang lemah semangat dan tidak mampu menghadapi kenyataan, namun ia sadar bahwa ia salah dan bersedia menjalani hukuman sebagai konsekuensinya, aku akan tetap memberi mereka sanksi ‘penyitaan’ dengan beberapa pertimbangan, semisal: jangka penyitaannya diperpendek sampai kenaikan kelas, tidak sampai lulus. Atau aku akan memakai pertimbangan lain sebagai alternatif keputusan. Dan khusus untuk kelas tiga, sebagai siswa yang seharusnya sudah sangat mengenal tata tertib, tidak ada keringanan, karena pelanggaran yang dilakukan orang yang sudah sangat mengerti seharusnya merasakan sanksi yang lebih berat. Bagi siswa yang disita HP-nya dengan pertimbangan, tak lain bahwa pertimbangan itu dilihat dari segi positif yang dimiliki siswa yang bersangkutan, kekurangan syarat atas diberlakukannya tata tertib seperti yang diharapkan (seperti mekanisme yang kurang prosedural dan keberlakuan syarat yang ambigu), atau faktor di luar kemampuan siswa. Semua pertimbangan tersebut dimaksudkan untuk mencapai keputusan yang paling mendekati asas keadilan, pembelajaran, dan kemudahan dalam urusan.

Dan yang terakhir, bagi yang berjiwa kecil, keras kepala, atau pengecut, aku hanya bisa mendasarkan keputusan atas dasar ‘kemudahan dalam urusan’, seperti pepatah “yang mengerti yang mengalah”. Untuk mereka itu, aku tidak mampu memperbaiki keadaan dengan memaksa mereka untuk mengerti dan mau berubah menjadi pribadi yang lebih baik, sabar, atau bertanggung jawab. Aku hargai mereka dengan membebaskan mereka dari tanggung jawabnya. Mungkin mereka merasa bebas dan senang. Padahal mereka sebenarnya mendapatkan satu hal: tidak berkembang. Walaupun kenyataannya pahit, keputusan itu harus aku ambil karena aku tidak boleh menimbulkan fitnah dengan memaksa mereka untuk melakukan hal yang tidak mampu mereka lakukan. (doel mersault)

No comments:

Post a Comment