Thursday, April 14, 2011

HOW TO CONDUCT


JAKARTA 29 NOVEMBER 2009

Aku mengadakan perjalanan refreshing bersama ketiga adikku: Celine, Aceng dan Ivan. Tujuan pertama dari perjalanan tersebut adalah menepati janjiku kepada mereka. Kedua adalah mengajak mereka melihat ’dunia luar’ bersamaku. Iya, bersamaku, bukan dengan yang lainnya. Aku ingin lebih mengenal mereka satu-persatu. Bagaimanakah seorang Celine ketika berada dekat denganku dan ketika berhadapan dengan orang lain? Bagaimanakah Aceng ketika mengalami hal-hal baru bersamaku dan ketika bersama orang lain? Serta bagaimanakah seorang Ivan yang pandai dalam akademik bisa menerapkan kelebihannya itu di dunia yang berbeda? Tujuan selanjutnya adalah menjenguk Mr. Eka yang sedang sakit thypus. Tujuan berikutnya adalah silaturahim ke Mas Sikie. Dan tujuan yang terakhir adalah...memanjakan diri.
Celine, ia tahu apa yang ada dalam diriku. Ia tahu banyak hal tentang diriku lebih dari yang diketahui orang lain. Maka wajar jika selama perjalanan ia adalah satu-satunya orang yang paling menjaga perasaanku, memperhatikan gerak-gerikku, mencoba untuk menyimpulkan apakah ada sesuatu yang salah dalam perjalanan kali ini. Pertama, ketika aku menanyakan uang padanya, ia memberikan uang itu padaku, tanpa banyak tanya. Ia hanya berkata, ”Tapi Celine nggak ada uang pecahan. Adanya seratus ribu.” Aku bilang bahwa itu nggak masalah karena uang itu akan aku pinjam seluruhnya sebelum aku bisa mengambil uangku di ATM. Sikapnya sudah benar, yaitu tidak banyak tanya ketika aku membutuhkan sesuatu. Itu tandanya ia mempercayaiku. Kepercayaannya padaku jauh lebih penting dari sejumlah uang yang ia berikan padaku.
Kedua, ia seringkali mencoba untuk berada di sisiku ketika berjalan di jalanan. Kukira itu suatu hal yang menarik dan aku sangat menyukainya karena dua alasan. Alasan pertama, aku suka karena ia telah melakukan hal yang tepat. Ia seorang perempuan dan sudah seharusnya ia selalu berada di dekat orang yang paling bertanggung jawab dalam perjalanan kali ini, yaitu aku..
Ketiga, ia tidak banyak tersenyum tanpa alasan, tidak banyak bicara yang tidak penting, juga tidak terlalu diam. Ia jarang berbisik di depan orang-orang. Sikap-sikap seperti itulah yang lebih bisa diterima oleh orang lain. Terbuka dan sederhana. Berbicara dengan cara berbisik padahal di sana masih ada orang ketiga, apalagi ada orang yang lebih tua, adalah suatu hal yang tabu dan dilarang. Ia berhasil menghindari itu semua. Kadang ia memulai pembicaraan, tapi hal itu wajar karena sikapnya memang wajar.
Keempat, ia menerima telepon dari orang tuanya dengan baik. Ia berusaha membuat orang tuanya tenang walaupun ia kuatir akan datang ke rumah terlambat. Maka aku tidak boleh membiarkan baik orang tua maupun dirinya kuatir. Aku harus mempunyai target sampai jam berapa aku harus menunggu mobil transportasi umum. Atau aku akan mengajak mereka naik taksi untuk menghemat waktu, supaya orang tuanya segera bisa melihat Celine lagi.
Kelima, tanpa berpikir panjang ia langsung memutar film yang baru saja aku beli ketika aku memintanya. Ia tidak tahu apakah di dalam film itu ada adegan dewasa atau tidak. Ia melakukan itu karena ia mempercayai aku. Namun ada satu hal yang ganjil, ia hanya memberiku sebuah piring ketika orang tuanya memintaku untuk makan malam. Apakah tidak lebih baik seandainya ia memberiku piring yang sudah ada nasinya? He he.
Kemudian Aceng, ia cukup menurut padaku dan percaya padaku. Tapi, terkadang ia masih tertipu oleh pikirannya sendiri dan terjebak oleh ambisinya sendiri. Ketika aku bilang kepada mereka, ”Kalian harus bisa berlaku wajar, jangan terlalu kaku dan harus percaya diri di hadapan orang lain walaupun orang lain itu baru kita kenal,” maka Aceng segera mencoba untuk mempraktekkannya. Pertama, ia tersenyum sambil melihatku ketika aku perkenalkan dia ke Mas Sikie atau Zaenal. Kesan dari sikap seperti itu adalah mentertawakan sesuatu padahal tidak ada yang harus ditertawakan. Seharusnya ia tersenyum hanya pada orang yang harus dikenalnya, bukan kepadaku atau kepada orang lain. Ia seharusnya menghargai orang yang berkenalan dengannya dan ia harus fokus hanya pada orang itu.
Kedua, ia duduk dengan kaki berada di atas sandaran tangan sofa ketika di hadapannya ada orang lain yang lebih tua duduk di hadapannya, apalagi ada orang yang belum terlalu mengenal dia. Sikap ini mengesankan dia terlalu percaya diri dan membuatnya ia lupa adab kesopanan.
Ketiga, ia mengajak Celine untuk berbicara. Ketika ia ditanya Mr. Eka tentang apa pembicaraan itu. Aceng menjawab bahwa itu rahasia. Ia tidak sadar bahwa kabar terbaru dan yang bersifat rahasia seharusnya diketahui terlebih dahulu oleh orang yang lebih tua atau lebih dipercaya. Sikapnya menunjukkan bahwa aku dan Mr. Eka bukanlah orang yang lebih tua dan bukan pula orang yang lebih ia percaya.
Keempat, ia bertanya, ”Terus begini aja, Kak?” ketika ia tidak kebagian tempat duduk di bus Trans Jakarta. Aku jawab, ”Iya. Kenapa bertanya seperti itu?” Ia bilang ’malu’. Satu hal yang harus ia pelajari dari orang-orang yang berjuang, yaitu melakukan segala hal yang halal tanpa rasa malu sedikit pun. Kenapa ia harus merasa malu hanya karena ia harus berdiri sementara orang-orang duduk? Ia merasa hanya dirinya yang paling menyedihkan di bus itu. Ia belum melihat bagaimana seorang wanita muda yang berdandan cantik, baru dari salon dan wangi juga harus berdiri. Ia juga belum melihat ketika seorang ibu-ibu juga harus berdiri. Ia tidak sadar bahwa Celine yang perempuan juga berdiri di belakangnya!
Kelima, ia sering berjalan di jalur yang kurang tepat. Ketika ia berjalan di sisi Ivan, ia memperlambat dirinya sehingga ia membuatku mundur. Dan hal ini membuat Celine bingung harus berjalan di sisi siapa karena sebelumnya ia berada di sisiku. Celine bingung apakah ia mempertahankan diri berada di sisiku sehingga hal ini akan membuat Ivan dan Aceng kelihatan sebagai sahabat yang aneh dan saling menjauh; ataukah Celine akan menyesuaikan diri untuk mengisi ruang kosong di sisi Aceng sehingga ia akan meninggalkan diriku sendirian di belakang. Seharusnya, mereka tetap di posisi masing-masing selama jalan memungkinkan untuk berjalan dua-dua; dan mereka harus berjalan satu-satu ketika jalan terlalu sempit. Bahkan berjalan pun ada tata caranya sehingga tidak merepotkan orang lain.
Keenam, Aceng memotong pembicaraanku ketika aku bilang, ”Solidaritas hanya akan melemahkan kita untuk bertahan hidup secara mandiri. Contohnya adalah saling mencontek ketika ulangan dengan alasan solidaritas.” Aceng membantah, ”Tapi inikan kasusnya berbeda, Kak. Kak Eka lagi sakit.” Hmmm, ia terlalu cepat mengambil kesimpulan; ia juga terlalu mudah membantah; ia juga tidak berpikir siapa yang berbicara dengannya. Aku hanya ingin menjelaskan sesuatu mengapa ia salah paham denganku. Bahwa Mr. Eka adalah orang yang tidak suka merepotkan orang lain sehingga ia akan lebih senang ketika ia melihat mereka tidak repot, dan dia akan menyesal jika ia melihat mereka bertiga gagal jalan-jalan. Bahwa Mr. Eka sudah cukup senang dijenguk mereka, setelah itu Mr. Eka hanya butuh istirahat. Pendek kata, aku dan mereka tidak perlu berlebihan dalam merasa kasihan pada Mr. Eka. Justru sikap inilah solidaritas: berusaha mengerti apa yang dibutuhkan sahabat dan orang yang kita sayangi.
Sekarang Ivan, ia pandai dalam berpikir sehingga kadang ia bersikap aneh karena apa yang ia pikirkan tidak terbaca oleh orang lain. Ia sering tersenyum atau tertawa tanpa orang lain mengetahui mengapa ia tersenyum dan tertawa. Ia sebenarnya percaya diri, hanya saja ia lebih memilih untuk pasif dan asyik dengan dunia pikirannya sendiri. Ia juga sangat berhati-hati dalam bersikap karena ia tidak ingin melanggar tata krama. Rasa percaya dirinya yang besar membuatnya tidak terlalu kuatir pada segala hal. Hanya saja ia harus sadar bahwa percaya diri saja tidak cukup. Ia membutuhkan kesan dari orang lain. Namun, pribadinya yang tertutup membuat orang lain sulit berkomunikasi dengannya. Dengan demikian ia akan mendapatkan lebih sedikit respon dari orang lain dan lebih sedikit teman untuk mengenalnya lebih jauh. Ivan lebih banyak menggunakan bahasa tubuh dan gerak mata, dan keduanya itu tidak akan maksimal dan efektif untuk membuat orang lain mengerti dirinya. Orang lain membutuhkan penjelasan yang lugas serta masuk akal.
Ivan lebih banyak menyerap ilmu dengan cara mendengar dan memperhatikan. Namun ia jarang mempraktekkan pada dirinya sendiri secara langsung. Sehingga ia akan banyak mengerti tentang suatu hal namun kurang bisa merasakan. Kalaupun ia merasakan sesuatu, perasaan itu hanya untuk dirinya sendiri, bukan untuk memahami orang lain. Dengan demikian, ia akan kelihatan egois dan mementingkan dirinya sendiri.
Beberapa pelajaran dapat dipetik dari perjalanan kali ini:
1.      Modal pertama untuk menjalin hubungan adalah percaya diri.
2.      Percaya diri yang berlebihan membuat orang lupa akan adab kesopanan.
3.      Percaya diri saja tidak cukup untuk membuat orang lain terkesan terhadap kita.
4.      Solidaritas adalah mementingkan apa yang orang lain butuhkan, bukan yang mereka inginkan, bukan pula apa yang ingin kita berikan untuk orang itu.
5.      Perjuangan selalu membutuhkan pengorbanan, termasuk korban perasaan.
6.      Penjelasan dengan kata-kata adalah penting untuk mencegah salah paham dan prasangka.
7.      Hal-hal kecil yang baik yang kita lakukan untuk orang lain bisa berarti wujud kasih sayang yang sangat bermakna.
8.      Percaya dan jujur adalah sumber kasih sayang yang sesungguhnya.
9.      Satu hal yang dibutuhkan untuk memenangkan segala sesuatu adalah memberikan segala sesuatu yang kita punya.


Malique J

No comments:

Post a Comment