Saturday, April 9, 2011

MY TEACHERS


MENIMBA AIR

Hari sudah menjelang Maghrib, tatkala abahku memanggilku untuk segera mandi. Seperti biasa, jika abah yang memanggil, pasti aku tak berkutik. Kata-katanya bagaikan anak panah yang menghunjam dadaku. Walaupun suaranya tidak keras, tetap saja bagaikan guntur di telingaku. Aku segera mengambil wudlu dan sholat Ashar diam-diam di kamarku. Aku tidak ingin abahku tahu bahwa aku belum sholat Ashar. Lebih baik aku dihukum karena belum mandi daripada aku dihukum karena belum sholat Ashar. Jika aku ketahuan belum sholat, abahku akan memukul kakiku, menjewer telingaku dan membentakku tak karuan. Bentakan itulah yang paling menakutkanku, membuat hatiku merinding, dan tidak bisa tidur semalaman. Selalu saja bentakan abahku membuat nyaliku mengecil, semangatku rusak, dan hilang pegangan dari tempatku berpijak. Sehingga aku selalu berusaha mati-matian agar abah tidak sampai membentakku.
Setelah mendapat cubitan di pahaku, aku segera mandi dan meringis kesakitan karena bekas cubitan abahku itu meninggalkan luka memar dan perih. Tapi itulah yang harus aku terima jika aku melanggar peraturannya. Aku tidak bisa protes. Seusai mandi, aku segera berangkat mengaji di rumah Pak Haji Imron. Di rumah Pak Haji Imron sudah banyak anak yang akan mengaji. Giliranku belakangan. Bu Haji Imron tahu kalau aku datang telat dan pasti harus antri lama. Kebiasaan di tempat mengajiku, jika ada yang ingin mendapat giliran lebih cepat, maka dia harus menimba air untuk mengisi bak air keluarga Pak Haji Imron di halaman belakang. Aku pun mengajukan diri untuk menimba air untuk beliau. Beliau mengijinkan dan mencatat namaku di daftar antrian khusus. Aku pun segera pergi ke belakang untuk menimba air. Setelah mendapat lima timba air, aku berhenti karena memang jatahnya hanya lima timba air per anak. Lalu kulihat buah jambu batu yang besar-besar di halaman tersebut. Maka tak berpikir panjang, aku pun memanjat pohon jambu itu dan mengambil beberapa buah yang sudah matang. Tiba-tiba Masruroh, anak perempuan satu-satunya Bu Haji Imron memergokiku,
“Malik! Sini! Kamu tidak malu mencuri milik orang lain? Heh?!” bentak Mbak Ruroh.
 Aduh, hatiku sakit banget. Aku bener-bener malu ketahuan mencuri. Aku hanya bisa berkata, “Maafin aku Mbak Ruroh. Ini aku kembalikan jambunya. Jangan bilang Bu Haji ya. Aku malu banget. Aku janji nggak akan mengulanginya lagi.”
Mbak Ruroh pun berkata, “Enak aja. Kamu harus dihukum. Kamu harus menimba air lima kali lagi. Setelah itu langsung masuk. Jambunya boleh kamu ambil di Mbak Ruroh setelah mengaji nanti.”
Aku pun masuk ke ruang mengaji. Bu Haji bertanya, “Sudah menimbanya, Malik?”
“Sudah, Bu Haji,” kataku.
“Sekarang kamu baca Al-Qur’annya terlebih dahulu sebelum membaca di hadapan Bu Haji nanti,” perintah beliau.
“Iya, Bu Haji,” jawabku.
“Mmmm, kapan giliran saya, Bu Haji?” tanyaku ingin tahu aja.
“Tunggu tujuh giliran lagi. Giliranmu setelah Junaedi,” kata beliau dengan tenang.
What??? Tujuh giliran lagi? Mana bisa? Aku pun bertanya pada Junaedi, “Emang kamu menimba air juga?”
Junaedi menjawab pertanyaanku sambil tersenyum, “Hampir semuanya yang telat tadi menimba air.”
Oh my God!!!

“Terima kasih kepada Abahku yang terhormat, Bu Haji Imron guruku yang sederhana dan sabar, yang telah mendidikku dengan sangat sempurna, tanpa ambisi duniawi, tanpa pamrih. Aku memohon ridhomu, doamu serta warisan niat dan akhlakmu yang mulia. Dari anakmu yang selalu membutuhkan bimbingan…Abdul Malik.”








No comments:

Post a Comment